Oleh: H. Irsyad Syafar, Lc, M.Ed(Pembina Yayasan Waqaf Ar Risalah)
Generasi-generasi awal umat ini adalah teladan kita. Mereka sangat layak mendapat gelar sebagai mana wasiat Nabi SAW, yaitu sebagai orang yang paling beribadah (A’badun Nas). Ketika berwasiat kepada Abu Hurairah tentang 5 hal, salah satunya Beliau katakan:
اتَّقِ الْمَحَارِمَ تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
Artinya: “Takutlah engkau kepada perkara-perkara yang diharamkan Allah, niscaya engkau akan menjadi orang yang paling beribadah.” (HR. Ahmad).
Imam Sa’id bin Jubair murid Ibnu Abbas ra ketika ditanya tentang orang yang paling beribadah, beliau berkata: “Yaitu hamba yang terluka karena dosa. Setiap kali teringat dosa-dosanya, ia memandang rendah amalan-amalannya.” Inilah sikap mereka ketika terjatuh kepada dosa. Bagaimana kira-kira kalau mereka terluput dari beramal shaleh? Mereka akan menangis bersedih. Sebab mereka mengira itu hukuman dari perbuatan dosanya. (Kitab zuhud karya Imam Ahmad).
Betapa posisi kita saat ini sangat jauh dari mereka. Bagaimana kita akan mengharapkan kemenangan dan pertolongan dari Allah kalau suasana hati kita lagi keras atau tidak sensitif? Karenanya, taubat kepada Allah merupakan permulaan jalan menuju Allah. Dan indikasi taubat itu terlihat nyata dengan memenuhi 4 kriteria:
1. Menyesali semua dosa yang telah diperbuat
2. Segera berhenti dari maksiat yang masih berjalan
3. Bertekad dengan sungguh untuk tidak kembali lagi
4. Menunaikan hak-hak orang lain.
Sesungguhnya Nabi Muhammad Saw dengan kemuliaannya sebagai seorang yang ma’shum, menyatakan: “Demi Allah sesungguhnya aku beristighfar kepada Allah dan bertaubat kepadaNya setiap hari lebih dari 70 kali.” (HR Bukhari). Maka kita yang berada jauh dari level kemuliaan Baginda Nabi Saw, tentu lebih butuh lagi kepada taubat yang berkesinambungan.
Disamping itu, ternyata Allah SWT sangat berbahagia dengan taubatnya seorang hamba. Dalam haditsnya, Rasulullah Saw memberikan ilustrasi tentang kebahagian Allah tersebut:
“Sungguh Allah lebih bahagia dengan taubatnya seorang hamba melebihi gembiranya seseorang yang nyaris celaka. Orang tersebut keluar bersama tunggangannya dan bekalnya. Lalu ia meletakkan kepalanya istirahat dan tertidur. Ketika terbangun, tunggangannya sudah kabur bersama bekalnya. Ia pergi mencari-carinya, sampai ketika sudah sangat lelah dan haus, ia berkata: “Sebaiknya aku kembali ke tempat awal aku tertidur tadi, berbaring disana sampai tertidur dan bangun kembali.” Kemudian ia mengangkat kepalanya. Ternyata tunggangannya sudah berada di dekatnya. Dan bekalnya serta makanan dan minumannya juga bersama tunggangan tersebut. Maka Allah jauh lebih bahagia dengan taubatnya hamba melebihi bahagianya orang yang telah kembali tunggangan dan bekalnya ini.” (HR Ahmad).
Dengan demikian, bertaubat kepada Allah adalah kebutuhan kita yang sangat utama (primer). Mengingat kita adalah makhluk yang sangat rentan jatuh kepada dosa kembali, maka menjadi kepentingan kitalah untuk senantiasa menyempurnakan taubat tersebut. Ada beberapa hal yang akan menghalangi upaya kita untuk menyempurnakan taubat kepada Allah. Antara lain sebagai berikut:
a. Tidak menghancurkan berhala-berhala
Seluruh hawa nafsu adalah berhala yang disembah selain Allah. Sebagaimana dalam firmanNya:
أَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا. (الفرقان: 43).
Artinya: “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (QS Al Furqan: 43).
Karena itu, maka riba adalah berhala, zina adalah berhala, curang adalah berhala, tabarruj adalah berhala, memakan harta orang lain secara bathil adalah berhala, semua yang disukai nafsu dan dimurkai Allah adalah berhala yang disembah selain Allah. Kesempurnaan taubat akan terhalang bila berhala-berhala tersebut tidak dihancurkan. Dan taubat yang masih membersamai berhala-berhala tersebut adalah taubat yang palsu (tidak murni).
Barangkali inilah penyebab orang yang sudah bertaubat kembali lagi ke jalan dosa dan maksiat. Yaitu disebabkan karena ia masih terpaut dengan berhala-berhalanya, dan belum menghancurkannya. Seperti masih menyimpan arsip dosa-dosanya, gambar-gambar porno, harta-harta yang haram, teman-teman bermaksiat, barang-barang bekas dosa seperti botol tuak, perangkat narkoba dan lain-lain.
b. Lokasi bermaksiat
Diantara penopang utama taubat yang benar kepada Allah adalah mengganti dan berpindah dari lokasi dan lingkungan bermaksiat. Kalau kita ingin selamat, jangan berdiam di wilayah penuh wabah penyakit. Sebab virus dan bakteri akan menimpa kita. Karena itulah di dalam hadits tentang taubatnya sipembunuh 100 orang, ia diperintahkan oleh lelaki shaleh untuk pindah ke kampung lain:
انْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُونَ اللَّهَ فَاعْبُدْ اللَّهَ مَعَهُمْ ، وَلَا تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضُ سَوْءٍ. (رواه مسلم).
Artinya: “Pergilah ke negeri ini dan ini. Karena sesungguhnya di sana ada orang-orang yang menyembah Allah. Sembahlah Allah bersama mereka. Jangan engkau balik lagi ke negerimu. Karena itu negeri yang buruk.” (HR Muslim).
Lelaki pembunuh 100 orang ini berangkat menuju negeri orang-orang shaleh. Di tengah jalan ia wafat dan belum sampai ke negeri tujuannya. Namun ia tetap masuk surga dan diampuni oleh Allah karena langkahnya dan taubatnya telah sangat nyata. Maka bagaimana mungkin akan bagus taubat orang yang berzina kalau ia masih sering ke lokasi club-club malam? Bagaimana akan sempurna taubat orang yang sering pacaran dan bergaul bebas dengan wanita bukan mahramnya kalau ia tetap sering berkumpul dengan kaum wanita? Bagaimana akan sempurna taubat peminum tuak kalau ia masih mampir ke kedai tuak?
c. Hati kembali melirik dosa
Imam Ibnul Qayyim menyebutkan dalam kitab Madaarij Salikin, bahwa diantara hakikat taubat itu adalah “mencurigai taubat” itu sendiri. Diantara bentuk taubat yang perlu dicurigai adalah melemahnya tekad, hati kembali melirik dosa (maksiat), terkenang (nostalgia) manisnya dosa, dan kembali dada bergelora.
Rasa dan suasana seperti ini akan muncul ketika terjadi futur dan lemahnya taqarrub (kedekatan) kepada Allah, seperti minimnya tilawah Al Quran, jarang berdzikir setelah shalat-shalat wajib, tidak ada qiyamullail, malas berpuasa sunat, enggan bersedekah dan lemahnya muhasabah (evaluasi) diri. Maka bisikan-bisakan syetan dan para pasukannya akan sangat mudah masuk dan menggoda.
Bila kita menyerah dengan situasi ini, tidak dapat dielakkan, kita bisa jatuh kembali kepada dosa dan maksiat berulang-ulang. Yang akan membantu menolong kita untuk segera bangkit kembali adalah kasadaran diri akan adanya muroqabah (pemantauan) dari Allah, memperbanyak istighfar dan memohon perlindungan (isti’adzah) dariNya.
d. Tidak mengganti teman
Petunjuk Rasulullah Saw sudah sangat jelas:
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
Artinya: “Seseorang tergantung agama temannya. Maka hendaklah salah seorang kalian memperhatikan dengan siapa ia berteman.” (HR Tirmidzi).
Maksudnya, setiap orang pasti akan terpengaruh oleh orang yang selalu membersamainya dan menemaninya dalam waktu yang cukup lama (sering). Kalau temannya adalah orang-orang baik dan shaleh, niscaya ia akan terpengaruh secara positif oleh keshalehan dan kebaikan temannya itu. Sebaliknya bila temannya adalah orang-orang yang buruk agamanya maka ia akan terpengaruh secara negatif dari keburukan orang tersebut.
Berteman dengan penjual wangi-wangian, kalaupun tidak membeli minyak wanginya, minimal kita mendapatkan aroma yang enak dari orang tersebut. Berteman dengan orang yang selalu jujur, suka berbuat baik, sering ke masjid dan sebagainya, akan membuat kita terbawa oleh kebaikan dan perilakunya tersebut.
Sedangkan berteman dengan penjual arang, kalaupun ia tidak akan membakar baju kita, paling tidak kita mendapatkan bau asap yang tidak sedap darinya. Berteman dengan pembohong ataupun pencuri, kalaupun kita tidak langsung mencuri, minimal kebohongannya bisa menular kepada kita.
Imam Ali bin Abi Thalib berkata: “Jangan kamu berteman dengan orang fajir (pendosa). Karena ia akan menghiasi perbuatannya di depanmu. Dan dia pasti sangat ingin engkau juga seperti dirinya.” (Faidhul Qadir).
e. Lupa kematian dan ending kehidupan
Menyempurnakan taubat akan menjadi berat bila selalu teringat masa lalu yang menipu (karena maksiatnya). Ingatan-ingatan itu akan merayu-rayu sehingga menimbulkan kelalaian dan menyebabkan adanya rasa aman. Akibatnya kita terlena dan bersikap taswif (suka menunda-nunda kebaikan). Kondisi itulah yang dinamakan dengan lupa kematian.
Lupa akan situasi yang sangat penting dan sangat menentukan ini, adalah bahaya yang sangat besar. Sebab, suul khatimah adalah kebinasaan. Sedangkan husnul khatimah adalah sebuah kemenangan. Wajarlah Nabi SAW mengingatkan kita agar selalu mengingat kematian:
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَادِمِ اللَّذَّاتِ ، يَعْنِي الْمَوْتَ. (رواه ابن ماجه).
Artinya: “Perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan.” (yaitu, kematian) (HR. Ibnu Majah).
Wallahu Waliyyut Taufiq.
(Dari kitab Adabul Bala: Abdul Hamid Al Bilaliy)