Oleh : Bagindo Yohanes Wempi
Kedua orang tua Penulis perantau, ketika Penulis berumur 3 tahunan, kedua orang tua membawa Penulis ke Jakarta. Disini Penulis mulai kenal Jakarta dan sempat mengenyam pendidikan (Sekolah Dasar) pertama Penulis di Jakarta timur, di daerah Perumnas Klender.
Disaat Penulis kelas 5 Sekolah Dasar, orang tua membawa Penulis pulang kembali ke kampung melanjutkan sekolah karena orang tua khawatir nanti anaknya terkena harus modrenisasi Jakarta. Orang tua kawatir anaknya tidak lagi menjadi orang Minang. Maklum Penulis agak nakal waktu SD itu, sempat hilang satu hari, gara-gara pergi bermain dengan kawan-kawan anak Betawi.
Setelah sekolah di kampung (Minang), setiap waktu libur lebaran panjang sekolah, orang tua mengizinkan Penulis pergi liburan ke Jakarta, menginap berpindah-pindah dari rumah saudara yang satu ke rumah saudara yang lain. Setelah libur selesai kembali lagi ke kampung.
Saat liburan tersebut Penulis lebih suka singgah atau tinggal ditempat saudara Kebayoran Lama (Komplek Polisi), karena dari posisi ini dekat dengan terminal Blok M dan juga ke daerah kawasan Istana Negara, Tugu Monas, Museum Nasional, Stasiun Gambir, Bundaran Hotel Indonesia, serta tempat-tempat bersejarah lainnya.
Sehingga, Penulis tahu betul perkembangan Ibu Kota Negara (DKI) ini semenjak tahun 80-an sampai sekarang. Penulis mengetahui kapan kawasan Blok M dibuat terminal modern, dimana diatasnya tempat naik bus kota, oplet dan dibawah tanah ada pasar (mall) beberapa tingkat.
Waktu itu suasana Jakarta begitu menarik dan indah bagi orang pelosok daerah untuk berlibur dan mencari peruntungan nasib. Penulis pernah menikmati suasana tersebut. Walaupun dari Pauh Kamba (Pariaman) ke Jakarta butuh waktu tiga hari tiga malam naik bus ANS, bus Transport atau bus NPM, selalu dinikmati.
Jakarta memang daerah istimewa, semua sejarah Republik Indonesia terjadi disini. Keberadaan Jakarta pun dari literatur yang ada sudah bermula dari zaman kerajaan, sudah istimewa sejak dahulu kala.
Serta berabad lamanya Jakarta bertumbuh sebagai kota terbaik dizamannya. Prasasti Tugu di era Kerajaan Tarumanegara abad 4-7 Masehi, menyebut kawasan Sunda Kelapa ini memiliki kali yang indah dengan air bersih. Sudah ada dokumennya.
Tome Pires yang datang tahun 1513 berkisah ; Pelabuhan Kalapa bagus sekali. Inilah pelabuhan terpenting dan terbaik dari semuanya. Seorang Jerman bernama Christopher Fryke yang berkunjung pada 1680 memberi kesaksian, Jakarta ; lebih indah dari pada Amsterdam.
Namun tolak ukur kuatnya Ibu Kota Negara ini adalah kekuatan Jakarta sebagai Ibu Kota, sebenarnya justru pada identitasnya yang menyejarah, bukan pada kemetropolitanannya yang ragawi.
Ditegaskan bahwa kekuatan Jakarta sebagai Ibu Kota justru pada identitasnya yang menyejarah, bukan pada kemetropolitanannya yang duniawi, Kota lain dapat dibangun supermodern, tetapi tak bisa menggantikan Jakarta yang meng-Indonesia karena sejarah peradaban.
Menurut penulis sangat salah sebenarnya orang-orang di Parlemen Indonesia, anggota DPR RI terhormat, Presiden Jokowi memindahkan Ibu Kota Nagara ke Kalimantan dengan alasan dibuat-buat. Seperti seolah-olah Jakarta biang kesusahan sistim pemerintahan, pembangunan ekonomi terhalang, kekuasan tidak bebas berprilaku.
Jakarta jadi Ibu Kota Negara karena sejarah panjangnya Nusantara ini, bukan karena Jakarta pusat bisnis, pusat ekonomi, pusat kepentingan oligarki atau pusat kepicikan penguasa untuk tetap berkuasa[*].