Dr. Hamdani, MM,MSi,Ak
(Pemerhati Pembangunan, Keuangan dan Tata Kelola Pemerintah Daerah)
Penyimpangan bantuan sosial (bansos) menghiasi pemberitaan media elektronik, media cetak dan media sosial belakang ini. Maraknya pemberian bansos untuk kebutuhan warga yang terkena imbas pandemi Covid 19 membuka peluang pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab memanfaatkan situasi tersebut. Tidak kurang Mensos Risma mencerca anggotanya dan pihak terkait yang tega menangguk keuntungan di air keruh. Seperti yang diketahui, ketika wabah virus korona melanda Indonesia, pemerintah telah mengucurkan ratusan triliunan rupiah untuk mengurangi beban masyarakat yang terdampak dari virus korona tersebut melalui berbagai program bantuan sosial. Namun niat baik pemerintah tersebut dinodai oleh ulah para pemburu rente oknum pejabat dan para pengusaha yang terlibat dalam penyaluran bansos tersebut
Kenapa bansos rentan dikorupsi dan diselewengkan. Bukankah bansos hanya bentuk pengeluaran yang bersumber dari keuangan negara APBN dan APBD dan Dana Desa di luar yang dilakukan BUMN dan Badan Usaha Swasta, Lembaga Non Pemerintah dan Partai Politik serta Ormas. Jawabannya karena bansos jenis belanja Negara dam Daerah yang memiliki tingkat resiko tinggi ketika disalurkan dan akuntabilitasnya pencairannya relatif rendah. Semakin panjang jalur distribusi bansos semakin tinggi resikonya. Validitas atau keabsahan bukti atau dokumen tanda terima dari jutaan penerima manfaat tidak tertutup kemungkinan fiktif atau dipalsukan.
Sebagai perbandingan ketika pemerintah dan pemda mencairkan belanja pegawai, belanja modal, belanja barang, maka sistem akuntabilitasnya memberikan jaminan untuk meminimalisir terjadi penyimpangan kualitas, kuantitas dan harga serta kemungkinan fiktif. Bukti transaksi secara formal dan material dihasilkan dari mekanisme pencairan dana yang mencerminkan sistem pengendalian menajemen yang memadai. Prosedur pengendalian meliputi pemisahaan wewenang dan tanggungjawab yang jelas pejabat yang menyiapkan dokumen lelang, panitia pengadaan barang dan panitia pemerima barang. Selanjutnya pejabat pembuat komitmen dan pejabat yang menguji dokumen pembayaran/kelengkapan administratif memastikan belanja modal dan barang dapat dibukti secara fisik dengan kuantitas dan kualitas sesuai dokumen kontrak atau surat perjanjian kerja . Dari sisi pengawasan, auditor dapat melakukan pengujian kebenaran formal dan material dengan prosedur pemeriksaan dokumen, pemeriksaan fisik dan konfirmasi.
Pemberian bansos dalam bentuk barang memiliki peluang untuk dikorupsi sejak dari proses penganggaran, pengadaan dan penyaluran. Kasus ini mencuat ketika KPK menangkap Mensos Juliari Batubara yang melakukan tindak pidana korupsi dari hulu sampai hilir. Paket barang bansos seperti ini sudah dihentikan dan yang masih berlanjut adalah paket beras dan paket kartu sembako. Aktifitas tersebut memiliki resiko yang melekat pada kegiatan yang dalam teori auditing ,dikenal sebagai resiko melekat (inherent risk). Hal ini perlu menjadi pertimbangan bagi pembuat keputusan memimalisir pogram bantuan sosial yang mengandung unsur resiko melekat pada aktifitas tersebut. Dalam beberapa kasus pemberian dalam bentuk barang tanda penerima yang ditanda tangani penerima manfaat fiktif atau dipalsukan.
Sedangkan penerimaan bantuan dalam bentuk uang apalagi melalui rekening, memiliki resiko yang rendah, dan sulit untuk direkayasa karena adanya konfirmasi dari penerima manfaat dalam sistem perbankan yang dikenal dengan notifikasi transfer rekening . Selanjutnya untuk pencairan pada rekening penerima manfaat apabila disalurkan melalui BPD atau Bank Himbara dapat menyangkau ke pelosok nusantara dan desa-desa melalui kantor kas BPD atau layanan mobil kas BPD.
Anggaran belanja bansos bersumber dari APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota serta APB Desa. Belanja bansos skema perlindungan sosial dialokasi dalam APBN Tahun 2021 tergolong jumbo sebesar Rp154,35 triliun meliputi Program Keluarga Harapan (PKH) sebanyak 10 juta keluarga sebesar Rp28,31 triliun, Kartu Sembako sebanyak 18,8 juta keluarga sebesar Rp49,89 triliun, Diskon Listrik sebanyak 32,6 juta rumah tangga sebesar Rp9,49 triliun, Bantuan Sosial Tunai (BST) sebanyak 10 juta keluarga sebesar Rp17,46 triliun, Bantuan Beras Bulog sebanyak 28,8 Juta Keluarga sebesar Rp3,58 triliun, Kartu Sembako PPKM sebanyak 5,9 juta keluarga usulan Pemda sebesar Rp7,08 triliun, Kartu Pra Kerja sebanyak 6,27 juta orang sebesar Rp21,2 triliun, Bantuan Subsidi Upah sebanyak 8,8 Juta sektor non kritikal di PPKM level 3 dan Level 4 sebesar 8,8 triliun, Subsidi Kuota Internet sebanyak 38,1 juta penerima sebesar 8,54 triliun.Jumlah tersebut diperkirakan masih akan bertambah lagi menjelang akhir tahun 2021 sesuai perkembangan pandemic covid 19.
Indikator keberhasilan pengelolaan bansos ditandai terpenuhi “empat tepat” yaitu tepat sasaran/kriteria, tepat jumlah, tepat kualitas dan tepat waktu. Bansos dikatakan tepat sasaran/kriteria apabila keluarga penerima manfaat adalah orang atau keluarga yang sesuai kriteria dengan identitas yang jelas sesuai KTP yang dimiliki. Validasi dan verifikasi dari keluarga penerima manfaat sebagai dasar memasukkan dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosia (DTKS). Selanjutnya DTKS ini perlu dimutakhir secara berkala. Untuk penyaluran bansos harus diperhatikan kesesuaian dengan jumlah dan kualitas yang ditentukan serta waktu yang ditentukan. Tujuan audit terhadap bansos untuk memastikan terpenuhinya empat tepat tersebut.
Penyimpangan bansos saat ini dapat diklasifikasikan pada dua kategori pemorosan dalam pengelolaan bansos dan penyelewengan pada tingkat penerima manfaat. Pemborosan terjadi terkait dengan biaya pengelolaan bansos khusus dalam bentuk barang. Pengeluaran yang perlu dilakukan biaya tranportasi, kemasan. Sedangkan bansos dalam bentuk bantuan pangan non tunai (BNPT) memerlukan organisasi Tim Koordinasi dan pendampingan, pembuatan dan distribusi kartu sembako dan penyiapan eletronik warung gotong royong e-warong. Sedangkan penyelewengan pada tingkat penerima manfaat empat area yaitu yang seharus menerima tidak menerima, yang seharusnya tidak menerima tapi menerima , pemotongan jumlah yang diterima dan kuantitas dan kualitas yang diterima tidak sesuai.
Proses bisnis bantuan pangan non tunai (BNPT) adalah diterima oleh penerima manfaat yang masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosia (DTKS) melalui Kartu Sejahtera sebesar Rp. 200.000, perbulan.Masyarakat mnggesek kartu sejahtera tersebut pada alat bank link yg tersedia pada kios kios mitra kerja bank , atau bank link yang ada di e warong. Masyarakat akan menerima bantuan senilai Rp. 200.000 - berupa beras, telur, sayur dsb dr warung tersebut. Kartu sejahtera dikirimkan Kemensos kepada dinas sosial kabupaten/ kota. Dinas sosial mendistribusikannya ke masyarakat yg di tetapkan oleh SK Mensos yg masuk data DTKS .Dinas Sosial bertugas juga untuk menvalidasi dan mengupdate data penerima, seperti penerima yg meninggal, pindah dan lain sebagainya.
Pendanaan yang bersumber dari APBN melalui dokumen anggaran DIPA APBN Kemensos cukup komplek. Kemensos sebagai instansi vertikal tidak memiliki satker vertical karena urusan social dilimpahkan kepada derah. Dengan demikian Kemensos menghadapi kesulitan dalam mendistribusikan bansos dalam bentuk natura. Kemensos membutuh mitra kerja penyaluran untuk 416 kabupaten dan 98 kota se Indonesia. Perlu dipertimbangkan juga pengelolaan bansos pada Kemensos di desentralisasi kepada Provinsi melalui skema dana alokasi khusus (DAK) sebagaimana alokasi untuk dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan operasional kesehatan (BOK). Pemerintah provinsi bertanggungjawab mengelola bansos dan menyalurkan kepada pemerima. Pengawasan dapat dilakukan oleh Aparat Pengawasan Internal Pemerntah (APIP) dan BPKP.
Untuk perbaikan pengelolaan bansos ada baiknya bansos BPNT diselenggarakan pada 98 kota di Indonesia. Sedangkan untuk 416 kabupaten ada paket beras dan BST. Alasannya BNPT untuk kabupaten dengan 74.957 Desa begitu banyak kelembagaan dan sarana dalam pengelolaan e-warong yang harus disiapkan dan keterbatasan jaringan internet dan fasilitas perbankan. Pembenahan Data Terpadu Kesejahteran Sosial (DTKS) dipercepat supaya bansos yang akan disalurkan makin akurat untuk mencegah salah sasaran pemberian bansos.