7. KEHIDUPAN BERKELUARGA SAMPAI MENJELANG KENABIAN
Oleh: H. Irsyad Syafar, Lc, M.Ed (Pembina Yayasan Waqaf Ar Risalah)
Khadijah ra. merupakan istri pertama Muhammad Saw. Sampai wafatnya Khadijah, Rasulullah Saw. tidak ada menikahi satupun wanita lain. Dan Khadijahlah satu-satunya istri Beliau yang memberikan keturunan. Sedangkan dari istri-istri yang lain pasca wafatnya Khadijah, tidak ada yang memberikan keturunan. Adapun Ibrahim adalah anak Beliau dari Maria al Qibthiyah, budak yang dihadiahkan Raja Mesir kepada Rasulullah Saw.
Anak-anak Khadijah bersama Rasulullah ada 6 orang, secara berurutan adalah: Qasim, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Fathimah dan Abdullah. Semua anak laki-laki Rasulullah wafat dalam usia kanak-kanak. Adapun anak-anak yang perempuan, semuanya sampai ke usia dewasa dan berjumpa dengan Islam dan semuanya masuk Islam. Namun semuanya wafat lebih dahulu dari pada ayah mereka, kecuali Fathimah. Ia wafat lebih kurang sekitar 6 bulan setelah wafatnya Rasulullah Saw.
Sebelum menikah dengan Rasulullah Saw., Khadijah pernah menikah dengan dua orang tokoh Quraisy. Pertama ‘Utaiq bin Abid bin Makhzum. Kemudian ia meninggal dunia. Lalu Khadijah menikah lagi dengan Abu Halah bin Zurarah Al Usaidi. Kemudian Abu Halah juga meninggal dunia. Setlah itu Khadijah menolak semua lamaran lelaki Quraisy sampai ia menikah dengan Muhammad Saw.
Setelah menikah dengan Khadijah, Rasulullah Saw. memulai kehidupan barunya menjadi kepala rumah tangga. Memimpin keluarganya dan anak-anaknya yang hadir dari tahun demi tahun. Di samping itu, Beliau masih melanjutkan pekerjaannya berdagang. Di sisi lain, Beliau ikut serta dalam agenda-agenda kebaikan dan sosial masyarakat yang tidak berbau syirik dan dosa. Bila terkait dengan syirik seperti penyembahan berhala atau hari raya kaum musyrikin, atau terkait dengan perbuatan dosa seperti minum tuak, memakan sembelihan untuk berhala, maka Beliau menjauh dan tidak menyukainya.
Ibnu Katsir menceritakan dalam riwayatnya bahwa Rasulullah Saw. telah berkata: “Aku tidak pernah dahulu berniat mengikuti sebagian dari jahiliyah, kecuali dua kali. Kedua kalinya selalu Allah halangi (gagalkan) antara aku dan perbuatan tersebut. Kemudian aku tidak pernah lagi berencana untuk itu sampai Allah muliakan aku menjadi Rasul. Suatu malam aku sampaikan kepada teman sesama penggembala kambing denganku di pinggir kota Makkah, “Tolong lihatkan kambing-kambingku ini, aku akan masuk ke kota Makkah dan menikmati suasana malamnya dengan para pemuda.” Lelaki penggembala itu menjawab, “Silakan.” Maka berjalanlah aku menuju Makkah. Begitu aku memasuki gerbang kota Makkah, aku dengarkan suara nyanyian. Aku bertanya kepada orang sekitar, ‘Apakah itu?” mereka menjawab, “Itu pestanya si fulan.” Lalu aku duduk untuk mendengarnya. Namun Allah datangkan kepadaku rasa mengantuk yang sangat berat hingga aku tertidur. Dan aku baru terbangun ketika matahari pagi menerpa wajahku. Lalu aku kembali menemui temanku dan aku ceritakan apa yang terjadi semalam. Malam berikutnya kembali aku ingin melakukan hal yang sama. Begitu aku memasuki gerbang kota Makkah, terjadi lagi apa yang terjadi sebelumnya. Maka kemudian aku tidak pernah lagi berencana melakukan keburukan.” (Riwayat ini dishahihkan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabi, di dhaifkan oleh Ibnu Katsir).
Begitulah Allah mengkondisikan calon Nabi dan Rasul yang mulia. Kehidupannya penuh dengan kebaikan dan dirinya dihiasi dengan akhlak yang mulia. Ia terkenal sebagai seorang yang berakhlak mulia, jujur, sopan tutur katanya, menepati janji, memegang amanah, menjaga kehormatannya dan selalu membantu orang lain yang dalam kesusahan dan kebutuhan. Di dalam hadits shahih, Ummul Mukminin Khadijah ra. pernah memujinya:
إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَصْدُقُ الحَدِيْثَ، وَتَحْمِلُ الكَلَّ، وَتَكْسِبُ المَعْدُوْمَ، وَتُقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الحَقِّ. (متفق عليه).
Artinya: “Sesungguhnya engkau orang yang selalu bersilaturrahim, menanggung beban orang lain, memberi orang yang tidak berpunya, memuliakan tamu dan senantiasa membantu sumber-sumber kebenaran.” (HR Bukhari).
Salah satu peristiwa penting ketika Beliau sudah berusia 35 tahun adalah peristiwa renovasi Ka’bah. Waktu itu bangunan Ka’bah sudah semakin keropos. Dan barang-barang berharga penduduk kota Makkah yang disimpan di dalamnya, sudah banyak yang dicuri oleh tangan-tangan jahil. Bencana alam seperti banjir dan badai juga sempat merusak beberapa bagian dari bangunan Ka’bah tersebut. Sehingga memang sudah sangat layak untuk dilakukan renovasi.
Awalnya kaum Quraisy agak ragu merehap bangunan Ka’bah. Sebab mereka takut celaka bila meruntuhkannya, karena bangunan ini warisan yang sakral semenjak zaman Nabi Ibrahim dan Ismail. Namun kemudian Al Walid bin Mughirah memberanikan diri untuk mulai meruntuhkannya, dan ia tidak mengalami apa-apa. Sehingga yang lain juga ikut serta melakukannya. Mereka merobohkan semua dinding lama sampai ke pondasinya. Kemudian mereka membangun ulang Ka’bah dengan ukuran panjang dan lebar sama-sama 10 meter, dan tingginya mencapai 15 meter.
Setelah bangunan Ka’bah sempurna mereka kerjakan, timbullah perselisihan diantara berbagai suku ini, tentang siapa yang berhak meletakkan kembali hajar aswad ke tempatnya semua. Perselisihan pendapat ini berlangsung sampai 5 hari 4 malam. Masing-masing suku merasa berhak untuk mendapat kehormatan ini. Hampir saja mereka saling menumpahkan darah karena pertikaian ini. Untunglah Abu Umayyah Al Makhzumi waktu itu mengusulkan adanya penengah (hakim) di antara mereka untuk memutuskan perkara tersebut.
Mereka semua sepakat untuk mengangkat hakim dalam perkara ini. Yaitu siapa yang pertama memasuki area Masjidil Haram waktu itu, dialah yang akan dijadikan sebagai penengah. Ternyata Allah takdirkan orang yang pertama masuk pintu Masjidil Haram waktu itu adalah Muhammad Saw. Mereka sangat senang dengan kejadian ini. Sebab Muhammad sudah terkenal di kalangan mereka sebagai seorang yang amanah lagi jujur. Sehingga mereka menggelarinya dengan gelar Ash Shaadiq Al Amin (jujur lagi terpercaya). Sepakatlah mereka untu tunduk dan patuh kepada keputusan Muhammad Saw. dalam perkara itu.
Muhammad Saw. memutuskan pada waktu itu untuk membuka sorbannya dan meletakkannya di atas tanah. Lalu Beliau meletakkan hajar aswad di tengah sorban tersebut. Lalu masing-masing kepala suku diminta untuk memegang ujung-ujung sorban dan mengangkat hajar aswad menuju sudut peletakannya. Sesampai di sudut Ka’bah, Rasulullah mengangkat hajar aswad dan meletakkannya di sudut tersebut. Semua pimpinan kabilah Quraisy merasa senang dan puas atas keputusan yang sangat bijak ini. Sehingga terhindarlah penduduk Makkah dari pertumpahan darah yang nyaris terjadi gara-gara peletakan kembali hajar aswad.
Sekitar 5 tahun terakhir menjelang usianya 40 tahun, Muhammad Saw. semakin menjaga dirinya dari kondisi masyarakat kota Makkah yang tenggelam dalam kesyirikan dan dosa. Dengan pemikirannya yang tajam, renungannya yang kuat, serta penjagaan khusus dari Allah, Beliau selalu terhindar dari potensi jatuh kepada dosa, maksiat dan bahkan perbuatan syirik (menyembah berhala).
Pada tahun-tahun terakhir mendekati usia kenabian, Allah mendatangkan kesukaan kepada Rasulullah Saw. untuk menyendiri jauh dari hiruk-pikuk kota Makkah. Ia pergi ke sebuah gua yang berjarak dari kota Makkah sekitar 2 atau 3 mil. Gua tersebut terkenal dengan nama gua Hira, di atas bukit Nur (Jabal Nur). Gua tersebut berukuran kecil, hanya cukup untuk duduk satu atau dua orang saja. Dan mulut gua tersebut agak mengarah ke Ka’bah yang jauh di sana di kota Makkah.
Beliau membawa bekal makanan dan minuman secukupnya. Beliau berdiam di sana beberapa hari atau kadang sebulan Ramadhan. Beliau beribadah dan bertafakkur menyaksikan ciptaan Allah Yang Maha Agung. Hatinya tidak tenang dengan apa yang tengah diperbuat oleh kaumnya yang menyembah berhala dan berbuat syirik. Namun Ia tidak mengetahui mana jalan kebenaran dan mana yang harus diikuti. Ketika bekalnya sudah habis, Beliau kembali ke rumah Khadijah untuk mengambil bekal selanjutnya, lalu kembali lagi ke gua Hira.
Bersambung…