Oleh : Labai Korok Piaman
Paska gempa besar tahun 2009 semua gedung-gedung perkantoran berubah bentuk tidak lagi memakai arsitektur rumah gadang Minangkabau. Kondisi ini memprihatinkan bagi Penulis yang cinta terhadap nilai-nilai budaya Minang.
Bisa dibuka datanya, lebih 90 persen gedung perkantoran, seperti kantor kepala daerah, kantor dinas, kantor camat, sampai kantor milik swasta dan lainnya di Sumbar, terkhusus terletak di Kota Padang berubah bentuk menjadi gedung banci, arsitektur anti Minang.
Jika perantau sudah lama tidak pulang kampung akan merasakan terkhusus Ibu Kota Propinsi Sumatera Barat sudah tidak lagi merasa berada diranah Minangkabau dahulu, tapi sudah terasa dikota-kota diluar Minangkabau.
Penulis pada tahun 2012 sudah pernah menginginkan Pemerintah Daerah, Ninik Mamak (LKAAM, MTKAM), cadiak pandai melaui tulisan "Minangkabau abstrak (Minangkabau jadi-jadian). Dimana penjelasan tentang tulisan tersebut, diantaranya arsitektur bangunan Minangkabau tidak ada lagi, maka diprediksi 50 tahun kedepan Minangkabau akan hilang.
Berharap dengan tulisan itu menggugah para penguasa ranah Minang, baik Kepala Daerah, Anggota Dewan, politisi kebijakan dan masyarakat semua untuk berpikir agar membangun paska gempa tahun 2009 berkomitmen memakai arsitektur rumah gadang. Link tulisan tersebut masih bisa dibuka (googling), masih bisa dibaca.
Namun yang namanya penguasa, Kepala Daerah, Anggota Dewan dan jajarannya memiliki otoritas membangun sesukanya, membangun gedung-gedung sesuai dengan seleranya, sesuai dengan pencitraannya maka tulisan tersebut tidak berefek.
Malah akhir-akhir ini pembangunan gedung perkantoran makin parah tak memiliki arah, bentuknya arsitekturnya sudah seperti film-film Hollywood negeri di planet lain, semua pakai efek kaca, gedung runcing-runcing dan hilang arsitektur rumah gadang.
Situasinya tidak tanggung-tangung, penguasa kekinian membangun sudah murni tidak memakai arsitektur rumah gadang dan sudah berani juga mengusur nilai-nilai kepahlawanan Minangkabau, seperti teranyar berubahnya gedung Bagindo Aziz Chan menjadi youth center di Kota Padang.
Penulis sebenarnya heran, mengapa para Kepala Daerah, Anggota Dewan, dinas-dinas jajaran teknis sangat suka merubah bentuk arsitektur rumah gadang Minangkabau menjadi bentuk lain. Apakah karena pejabatnya tidak asli orang Minang, atau tidak lahir diranah Bundo ini. Entahlah.
Sedang dilihat dari perjalan dinas acap kali melakukan perjalan ke pulau Dewata Bali sebelum covid-19 melanda. Boleh dikata semua pejabat tersebut dalam satu tahun bisa dua kali dan malah bisa lebih dari itu untuk melakukan studi banding, kunjungan kerja yang katanya akan mengabdopsi nilai-nilai budaya Bali dan bentuk lainnya.
Namun terkhusus dengan arsitektur rumah gadang Minangkabau tidak dipakai hasil studi banding, kunjungan kerja ke Bali tersebut, malah dalam pembangunan diadopsi model bangunan seperti dikota maju luar negeri yang memakai nilai modernisasi menghilangkan nilai budaya Minang itu sendiri. Yang pejabat itu tidak pernah studi banding keluar negeri dalam karirnya[*].